INFRASTRUKTUR BANTEN
A. Pekerjaan
Umum
Jaringan jalan
merupakan modal transportasi yang berperan penting dalam mendukung pembangunan
terutama dalam kontribusinya untuk melayani mobilitas manusia maupun koleksi
dan distribusi barang. Selain itu jaringan jalan juga diperlukan untuk
menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan antar
wilayah, antar perkotaan dan antar perdesaan serta untuk mempercepat
pengembangan wilayah.
Hingga tahun
2005 dengan luas wilayah sebesar 8.800,83 km2, Provinsi Banten telah terlayani
oleh ketersediaan jaringan jalan (status jalan Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota) sepanjang 4.015,85 km. Secara umum rata-rata rasio panjang
jalan terhadap luas wilayah Provinsi Banten mencapai 0,46. Rasio panjang jalan
terhadap luas wilayah masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten
menunjukkan ketersediaan jaringan jalan yang bervariasi. Kabupaten/Kota yang
berada pada wilayah Banten Utara umumnya telah terakses oleh jaringan jalan,
namun sebaliknya beberapa kawasan di kabupaten yang terletak di wilayah Banten
Selatan belum terakses oleh jaringan jalan. Kondisi ini terlihat dari rasio
panjang jalan terhadap luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hingga
tahun 2004, Kota Cilegon merupakan wilayah yang memiliki rasio panjang jalan
paling tinggi yakni sebesar 3,91, selanjutnya diikuti oleh Kota Tangerang
(1,51), Kabupaten Serang (0,69), dan Kabupaten Tangerang (0,65). Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang merupakan dua wilayah di Banten Selatan
(memiliki angka rasio yang relatif rendah yakni berada di bawah raua-rata rasio
provinsi, masing masing sebesar 0,39 dan 0,38.
Rendahnya
ketersediaan jaringan jalan di wilayah Banten Selatan mengakibatkan menjadi
terbatasnya aksesibylitas pada beberapa kawasan di wilayah tersebut. Lebih jauh
lagi kondisi ini mengakibatkan menjadi terhambatnya mobylitas penduduk serta
kegiatan koleksi dan distribusi barang terutama hasil-hasil pertanian yang
merupakan produk utama masyarakat setempat. Dari aspek kewilayahan, kondisi ini
pada akhirnya mengakibetkan terjadinya kesenjangan antar wilayah.
Wilayah-wilayah yang aksesibilitasnya rendah cenderung menjadi terisolasi serta
relitif lamban untuk berkembang, sebaliknya wilayah yang memiliki aksesibilitas
tinggi cenderung lebih cepat pertumbuhannya.
Dari sepanjang
889,01 km jalan yang menjadi kewenangan pengelo|aan Provinsi Banten, pada tahun
2005 sekitar 13,89% (123,46 km) berada dalam kondisi baik, 53,91% (479,25 km)
dalam kondisi sedang- serta 32,20% (286,30 km) berada dalam kondisi rusak ringan
hingga rusak besat. Kondisi ini terlihat semakin menurun jika dibandingkan
dengan kondisi pada tahun sebelumnya, dimana jaringan jalan dengan kondisi
rusak hanya sekitar 7,18% atau sepanjang 53.20 km. Demikian halnya dengan
jaringan jalan nasional di wilayah Provinsi Banten, hingga tahun 2005 walaupun
kondisinya lebih baik dibandingkan dengan jalan provinsi namun jika diamati
dari kecenderungan perkembangannya dari tahun ke tahun terlihat bahwa kualitas
atau kondisinya cenderung semakin menurun.
Beberapa
penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan kondisi/ kualitas
jaringan jalan tersebut adalah pengendalian pelaksanaan pembangunan konstruksi
jalan yang belum optimal, pembebanan yang berlebih (excessive over loading),
bencana alam seperti longsor dan banjir serta terbatasnya anggaran untuk
menjaga (pemeliharaan) umur teknis jalan yang sebagian besar memang tulah
melampaui batas optimalnya.
Jaringan
irigasi lintas kabupaten/kota yang menjadi kewenangan pengelolaan provinsi,
hingga tahun 2005 telah terkelola sepanjang 866.915 m atau seluas 82.848 Ha.
Dari jaringan irigasi yang telah terkelola tersebut, sekitar 22,87% atau
sepanjang 198.288 m merupakan jaringan irigasi yang tidak dapat berfungsi atau
beroperasi secara optimal karena berada dalam kondisi rusak berat. Sementara
itu jaringan irigasi dalam kondisi rusak ringan, pada tahun yang sama mencapai
132.190 m (15,25%) dan sisanya dalam kondisi baik 536.437 m (61,88%).
Beberapa faktor
yang menyebabkan tidak berfungsi atau beroperasinya jaringan irigasi dengan
luasan yang cukup signifikan tersebut antara lain adalah belum lengkapnya
sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya lahan sawah,
ketidaksiapan petani penggarap, serta akibat terjadinya alih fungsi lahan. Pada
tahun 2004 dari sekitar 327.414 Ha luas lahan persawahan di Provinsi Banten,
sekitar 12,18% atau 39.893 Ha merupakan lahan persawahan yang masih menggunakan
sistem pengairan tadah hujan, sehingga tidak dapat berproduksi sepanjang tahun
(panen 2-3 kali/tahun), melainkan hanya berproduksi pada musim penghujan saja
(panen 1-2 kali/tahun). Hal ini dikarenakan pada musim kemarau persawahan tadah
hujan tidak dapat berproduksi karena tidak memiliki pasokan air.
Terjadinya
degradasi lingkungan yang semakin luas terutama akibat semakin maraknya
perambahan hutan (deforestrasi) secara signifikan telah menyebabkan terjadinya
penurunan daya dukung hutan sebagai daerah tangkapan air yang berfungsi sebagai
penahan dan penyimpan air. Disamping itu, kondisi tersebut diperparah
pula dengan meningkatnya kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta situ/danau
sehingga menyebabkan semakin menurunnya kapasitas atau kemampuannya dalam
menampung dan menyimpan air.
Kondisi
tersebut terlihat dari semakin luasnya kerusakan Daerah Aliran Sungai di Provinsi
Banten. Hingga tahun 2005, dari sepanjang 404.000 m sungai lintas
kabupaten/kota yang ditangani oleh provinsi, sepanjang 78.958 m atau sekitar
19,54% berada dalam kondisi rusak berat dan 52.639 m auau 13,03% berada dalim
kondisi rusak ringan. Sementara itu sisanya sepanjang 272.403 m atau 67,43%
masih dalam kondisi baik/ Kerusakan DAS tersebut umumnya terjadi pada 3 Satuan
Wilayah Sungai utama yang terdapat di Provinsi Banten, yaitu SWS
Ciujung-Ciliman, SWS Cisadea-Cikuningan dan SWS Ciliwung-Cisadane. Meluas dan
bertambahnya jumlah DAS kritis ini telah mengarah pada tingkat kelangkaan dan
peningkatan daya rusak air yang semakin serius.
Disamping
sungai, kerusakan situ/danau yang berfungsi sebagai penampung air juga semakin
bertambah dari tahun ke tahun. Dari sejumlah 49 buah situ/danau yang dIkelola
provinsi dengan total luas sebesar 1.573,5 m2, pada tahun 2005 sebanyak 41 situ
berada dalam kondisi baik,4 situ rusak ringan, dan 4 situ rusak berat Kerusakan
situ/danau tersebut umumnya terjadi sebagai akibat dari meningkatnya
sedimentasi, sehingga menurunkan keantalannya sebagai penampung dan penyedia
air. Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang
rendah sehingga tingkat layanan sumber daya air tersebut semakin menurun.
Kecenderungan
semakin menurunnya daya dukung sumberdaya amr tersebut berdampak pada tidak
terdistribusinya sumberdaya air secara merata. Kondisi ini khususnya
berlangsung bersamaan dengan terjadinya pergantian musim hujan dan kemarau.
Pada musim penghujan ketersediaan air sangat melimpah bahkan hingga
mengakibatkan munculnya efek negatif seperti terjadinya bencana banjir dan
longsor, sebaliknya pada musim kemarau ketersediaan air sangat minim sehingga
mengakibatkan kekeringan.
Semakin
berkembangnya kawasan permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air
dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain,
kapasitas infrastruktur penampung air seperti situ atau danau makin menurun
sebagai akibat meningkatnya sedimentasi dan kerusakan lingkungan sekitarnya,
sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.
Selain itu, kelangkaan air yang terjadi cenderung mendorong pola penggunaan
sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara
berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan kualitas
air tanah, intrusi air laut, dan amblesan permukaan tanah. Kerusakan air tanah
sangat sulit untuk dipulihkan, sehingga apabila hal tersebut terjadi
terus-menerus secara pasti akan berujung pada terjadinya bencana lingkungan
yang berimplikasi luas.
Sejalan dengan
terus meningkatnya jumlah penduduk dan perbaikan kualitas hidup masyarakat,
kebutuhan akan ketersediaan sumberdaya air bagi permukiman, industri,
pertanian, dan perdagangan juga semakin meningkat. Di Provinsi Banten dengan
jumlah penduduk mencapai 9,3 juta jiwa pada tahun 2005, telah menyerap
kebutuhan air sebesar 164 juta m3/tahun,diperkirakan pada lima tahun ke depan
diperlukan ketersediaan air sebesar 175 juta m3/tahun. Pada sektor industri,
dari sekitar 1.576 industri yang terdapat di Provinsi Banten terserap sekitar
110 juta m3 air baku per tahunnya dan pada lima tahun ke depan diperkirakan
akan menyerap kebutuhan air sebesar 120 juta m3/tahun. Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan akan ketersediaan air pada satu sisi namun di sisi lain
ketersediaannya semakin terbatas, maka hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan
terjadinya konflik di masa yang akan datang. Oleh karena itu pengaturan
mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air secara bijak hendaknya
perlu disiapkan sedini mungkin sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya
konflik tersebut.
B. Perumahan Rakyat
Seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk di Provinsi Banten yang hingga tahun 2004
telah mencapai sekitar 9,3 juta jiwa, kebutuhan akan ketersediaan sarana
perumahan dan permukiman semakin meningkat pula. Dengan asumsi laju pertumbuhan
penduduk sebesar 3,18%, maka diperkirakan tingkat kebutuhan perumahan di
Provinsi Banten sekitar 72.259 unit/tahun. Dengan demikian dalam lima tahun ke
depan kebutuhan akan ketersediaan sarana perumahan di Provinsi Banten yakni
mencapai 289.036 unit rumah. Untuk memenuhi kebutuhan akan savana perumahan
tersebut maka diperlukan ketersediaan lahan siap bangun seluis ± 2.890.360
m2/tahun.
Hingga tehun
2004 tingkat hunian penduduk di Provinsi Banten relatif masih rendah, yakni
sebesar 52,05%, sehingga masih terdapat sekitar 47,95% kebutuhan akan
ketersediaan perumahan yang belum terpenuhi. Dari`sejumlah 2 Penduduk`yang
belum memiliki rumah layak huni ± 750.000 KK, sedangkan yang uelah memiliki
rumah layak huni (mewah, permanen & semi permanen) sebesar ± 1.520.779 KK.
Semakin
meluasnya kawasan kumuh merupakan permasalahan yang memerlukan perhatian khusus
dari Pemerintah. Luasan kawasan kumuh di Provinsi Banten cenderung terus
meningkat setiap tahunnya sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan (makin tidak
terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar yang menjadi penarik meningkatnya
arus migrasi. Fenomena ini umumnya berkembang terutama pada wilayah-wilayah
yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta yakni Kabupaten dan Kota Tangerang,
mengingat kedua wilayah ini merupakan kawasan penyangga bagi ibukota negara.
Kawasan permukiman yang berkembang di wilayah utara Provinsi Banten, antara
lain di wilayah hinterland DKI Jakarta (Kab. Tangerang dan Kota Tangerang) dan
di sekitar kawasan industridan pariwisata (Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kab.
Tangerang, dan Kab. Serang).
Hingga tahun
2004 masih terdapat 284,43 Ha Kawasan Kumuh yang bulum ditangani di
kabupaten/kota di Provinsi Banten, yang terdiri dari Kab/ Serang 96,88 ha, Kab.
Pandeglang 29,77 Ha, Kab.Lebak 95,15 Ha, Kab. Tangerang 16,05, Kota Tangerang
20,48 Ha, serta Kota Cilegon 26,11 Ha.
Cakuran
pelayanan Air Bersih baru mencapai 64,35%, sedang cakupan pelayanan sanitasi
dasar mencapai 53,645. Semakin meningkatnya kebutuhan pelayanan air bersih,
drainase dan persampahan seiring dengan pertumbuhan kawasan perkotaan,
khususnya pada kawasan permukiman, industri, pariwisita, dan agropolitan.
Hingga tahun 2004 cakupan pelayanan air barsih baru muncapai 54%, yang diukur
dari prasarana yang telah dibangun, adapun pelayanan sanitasi cakupannya masih
sangat rendah yakni baru sekitar 32%. Adapun rasio Elektrifikasi Rumah Tangga
hingga tahun 2003 baru mencapai 93%, sedangkan Rasio Elektrifikasi Desa baru
mencapai 71% (sekitar 247 desa belum terlistriki). Potensi sumberdaya energi
alternatif meliputi: sumberdaya energi fosil (batubara), energi panas bumi,
tenaga air skala kecil, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, dan energi
gelombang laut. Perkiraan rasio elektrifikasi Provinsi Banten pada tahun 2005
sekitar 58,2%. Sedangkan perkiraan kebutuhan masing-masing kabupaten/kota
adalah : Kabupaten Pandeglang 4,8%, Kabupaten Lebak 4,8%, Kabupaten Tangerang
15,1%, Kabupaten Serang 3,1%, Kota Tangerang 4,3%, Kota Cilegon 7,6%. Kondisi
ini membutuhkan penanganan yang intensif terutama dalam rangka mendukung
pencapaian target MDG’s 2015 yang telah menjadi komitmen pemerintah RI.
Perhubungan
Provinsi Banten
yang berada di wilayah ujung barat Pulau jawa memiliki posisi yang sangat
strategis dan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar baik skala lokal,
regional, nasional bahkan skala internasional. Fasilitasi terhadap pergerakan
barang dan penumpang yang dari dan ke pusat-pusat kegiatan Nasional, Wilayah
maupun Lokal yang ada di Provinsi Banten menjadi sangat penting dalam upaya
mendukung pengembangan ekonomi di wilayah Provinsi Banten.
Provinsi Banten
dibagi menjadi tiga Wilayah Kerja Pembangunan yang mempunyai ‘icon’ atau ciri
khas prasarana perhubungan di Provinsi Banten dikarenakan aktifitasnya yang
lebih menonjol dibandingkan dengan prasarana perhubungan lainnya. Wilayah Kerja
I yaitu Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang terdapat Bandara Soekarno Hatta
yang bertaraf Internasional yang merupakan gerbang masuknya barang dan
penumpang ke Indonesia. Wilayah Kerja II yaitu Kota Cilegon dan Kabupaten Serang
terdapat pelabuhan penyeberangan Merak yang menjadi gerbang masuknya barang dan
penumpang dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa dan di Wilayah Kerja III yaitu
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak terdapat Stasiun Kereta Api yang
merupakan gerbang masuk barang dan penumpang terutama dari dan ke Jakarta.
Permasalahan
klasik yang masih terjadi adalah belum terpadunya pembangunan prasarana dan
sarana transportasi dengan sistem jaringan transportasi (antar moda, antar
wilayah dan antar lembaga). Fenomena ini umumnya terjadi pada sarana
transportasi di wilayah perkotaan yang diakibatkan belum berkembangnya
(keterpaduan rencana tata ruang dan transportasi perkotaan, kesadaran dan
kemampuan pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan transportasi, rendahnya
disiplin masyarakat pengguna, profesionalitas aparat dan operator
transportasi,serta rendahnya kualitas relayanan transportasi umum. Lebih jauh
lagi kondisi ini mengakibatkan semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas di
wilayah perkotaan serta tingginya angka kecelakaan dari tahun ke tahun.
Secara umum,
sektor perhubungan dapat dikategorikan kedalam tiga bagian yaitu perhubungan
darat, perhubungan laut dan perhubungan udara. Ketiga bagian tersebut mempunyai
peranan yang sangat penting dalam membangun perekonomian di Provinsi Banten.
C. Perhubungan
1. Jalan
Prasarana jalan
merupakan modal transportasi utama yang berperan penting dalam mendukung
pembangunan serta meminiki kontribusi terbesar dalam kegiatan koleksi dan
distribusi barang maupun jasa dibandingkan moda lain. Oleh karena itu tingkat
pelayanan prasarana jalan menjadi sangat vital kedudukannya karena menjadi
salah satu barometer yang menentukan keberhasilan pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan di Provinsi Banten.
Sebagai
prasarana transportasi, jalan merupakan unsur penting dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Untuk melayani pergerakan
barang dan penumpang, secara umum sistem jaringan jalan Provinsi Banten
menggunakan pola cincin yang melingkar dari wilayah Utara sampai ke wilayah
Selatan yang dihubungkan secara radial dengan jaringan jalan vertikal
Utara-Selatan dan secara horizontal Timur-Barat.
Konsep ini
jaringan jalan ‘ring-radial’ dimaksudkan agar pergerakan penumpang dan barang
dari peisisir menuju ke pusat-pusat kegiatan Nasional, Wilayah maupun lokal
yang ada pada bagian tengah wilayah dapat dilayani dengan baik.
Pada saat ini
jaringan jalan cincin bagian barat dan selatan sudah ditingkatkan statusnya
menjadi jalan Nasional. Sementara pada bagian utara masih berstatus jalan
Provinsi. Jalan horizontal Timur-Barat dilayani dengan Jalan Nasional serta
jalan Tol dengan panjang lebih dari 90 km. Sedangkan jalan Vertikal
Utara-Selatan dilayani dengan jalan Provinsi. Jalan kabupaten melayani akses ke
ketiga jalan tersebut.
Hingga tahun
2006, kondisi jalan Nasional sepanjang 249.246 km berada dalam kondisi
baik,214.314 km dalam kondisi sedang dan sepanjang 26.840 dalam kondisi rusak.
Kondisi jalan provinsi hingga akhir tahun 2006 dengan total panjang jalan
sebesar 889.01 km berada dalam kondisi baik sebesar 203.670 km, kondisi sedang
380.020 km dan kondisi rusak sebesar 305.320 km. Ruas jalan nasional di wilayah
Provinsi Banten pada saat ini mempunyai volume lalu-lintas rata-rata sebesar
0,7 yang berarti kelancaran arus lalu-lintas terganggu karena adanya aktifitas
perdagangan/pasar, pabrik/industri, pusat-pusat perbelanjaan disepanjang jalan
serta kapasitas jalan yang terbatas karena lebar badan jalan rata-rata 7 m pada
ruas jalan nasional di Banten Utara (Merak-Tangerang) dan ruas Ciputat-Batas
DKI.
Kinerja
pelayanan jalan pada ruas jalan Provinsi pada umumnya cukup baik dengan rasio
volume lalu-lintas per kapasitas rata-rata sebesar 0.4. Kemacetan lalu-lintas
pada umumnya bersifat lokal yang terjadi pada pusat-pusat kegiatan
masyarakat.
Masih tingginya
angka kecelakaan lalu lintas yang umumnya diakibatkan oleh ketidak disiplinan
pengguna jalan, rendahnya tingkat kelaikan armada, serta rendahnya ketersediaan
rambu dan fasilitas keselamatan di jalan. Pada tahun 2004 jumlah kejadian
kecelakaan lalu lintas mencapai 145 kasus. Jumlah tersebut meningkat jika
dibandingkan dengan jumlah pada tahun 2000 yang mencapai 111 kasus. Selama
periode tahun 2000-2004 pertumbuhan kasus kecelakaan tersebut cenderung terus
meningkat, dengan rata-rata pertubuhan 6,42/tahun. Demikian halnya dengan
jumlah korban yang ditimbulkan akibat kecelakaan tersebu| setiap tahunnya
cenderung terus meningkat. Dari 145 kasus kecelakaan pada tahun 2004 korban
meninggal dunia mencapai 154 orang, luka berat 79 orang dan luka ringan 125
orang. Kondisi ini meningkit tari tahun-tahun sebelumnya.
Walaupun
berdasarkan data statistik menunjukkan bahwa ketersediaan sarana angkutan umum
baik angkutan dalam kota (AKDP) maupun angkutan antar kota (AKAP) di Provinsi
Banten setiap tahunnya terus meningkat namun hal ini tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas layanan dan pemerataan sebarannya. Peningkatan sarana
angkutan umum ini umumnya lebih terkonsentrasi pada wilayah-wilayah perkotaan
saja, sehingga wilayah-wilayah hynterland (pinggiran kota) dan terpencil masih
mengalami kesulitan dalam hal ketersediaan layanan angkutan umum ini. Hingga
tahun 2003 telah terdaftar sebanyak 8.795 (unit kendaraan penumpang umum yang
beroperasi dalam 178 trayek di seluruh Banten. Dari jum|ah tersebut, sebanyak
5.224 unit merupakan jenis kendaraan antar kota dalem provinsi dan 357 unit
merupakan kendaraan antar kota perbatasan provinsi.
2. Terminal
Sebagai simpul
transportasi, terminal berfungsi sebagai tempat untuk menaikan dan munurunkan
penumping serta perpindahan antar moda transportasi merupakan unsur penunjang
dalam pelayanan pergerakan tenumpang dan barang Terdapat 3 (tiga) terminal di
Provinsi Banten yaitu Terminal Pakupatan, Terminal Porisplawad dan Terminal
Merak.
3. Angkutan Umum
Untuk melayani
pergerakan penumpang dan barang dalam wilayah Provinsi Banten, terdapat
angkutan umum Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi pada saat ini masih dilayani
dengan kendaraan ukuran kecil dan dalam penyelenggaraannya masih dirasakan
belum terpadu secara maksimal. Terdapat 63 trayek dengan jumlah`kendaraan
sebanyak 3.788 yang melayeni Antar Kota da|am Provinsi lintas Kab/Kota
Tangerang. Sedangkan untuk AKDP lintas Serang, Cilegon, Pandegling dan Lebak
dilayani dengan 66 trayek dengan jumlai kendaraan sebanyak 1436.
Untuk
menjangkau kawasan-kawasan yang masih belum tersedia angkutan umum, terdapat
beberapa angkutan perintis yang melayani jalur Cikeusik-Muara Binuangeun-Sp,
Bayah-Sikotok-Pasir Kurai-Cibareno dengan jarak sepanjang 106 km. Angkutan
perintis ini dilayani oleh 2 buah bis DAMRI ukuran sedang.
4. Kereta Api
Perkeretaapian
di Provinsi Banten sampai saat ini peranannya masih sangat rendah jika
dibandingkan dengan moda transportasi darat lainnya. Untuk masyarakat yang ada
di wilayah Utara Banten seperti Serang dan Cilegon,yang menuju Jakarta atau
sebaliknya lebih memilih menggunakan kendaraan dibandingkan dengan Kereta Api.
Hal ini disebabkan karena jalur kereta api melingkar sehingga lebih panjang
dari jalan arteri primer yang berpengaruh terhadap waktu tempuh menjadi lebih
lama dibandingkan dengan menggunakan kendaraan. Tetapi masyarakat yang ada di
wilayah Selatan Banten terutama di Kabupaten Lebak serta di Kabupaten Tangerang
banyak menggunakan kereta api menuju Jakarta.
Sampai dengan
tahun 2005, dari total jalur rel kereta api sepanjang 305,9 kilometer, hanya
48% merupakan jalur rel yang masih beroperasi dengan rata–rata jumlah
pergerakan kereta penumpang sekitar 22 kereta/hari dan kereta barang sebanyak
16 kereta/hari. Semakin menurunnya pelayanan sarana tersebut berimplikasi
terhadap kecenderungan semakin menurunnya pula pada jumlah angkutan penumpang
dan barang.
Jaringan kereta
api di wilayah Provinsi Banten sepanjang 305.90 km merupakan ‘single track’
yang terdiri dari lintas operasi Merak-Tanah Abang, Tangerang-Duri,
Cilegon-Cigading sepanjang 141.6 km dan lintas tidak operasi
Rangkasbitung-Labuan,Saketi-Bayah dan Cigading-Anyer Kidul sepanjang 164.3
km.
Terdapat
sebanyak 176 perlintasan sebidang yang terdiri 38 perlintasan berpintu dan
dijaga, 104 perlintasan tidak dijaga dan 34 perlintasan liar yang berdampak
pada kecepatan dan waktu perjalanan kereta api serta rawan kecelakaan.
Pengoperasian angkutan kereta api didukung oleh 23 stasiun yang terdiri dari 1
stasiun kelas I di Rangkasbitung, 6 stasiun kelas II dan 16 stasiun kelas III
yang tersebar di wilayah Provinsi Banten dengan kapasitis dan pelayanan yang
masil kurang memadai.
5. Perhubungan Laut
Di Provinsi
Banten terdapat 5 (lima) pelabuhan yang terdiri dari 2 pelabuhan yang
diusahakan yaitu Pelabuian Ciwandan dan Pelabuhan Bojonegara serta 3 (tiga)
pelabuhan yang tidak diusahakan yang terdiri dari Pelabuhan Karangantu,
Pelabuhan Labuan dan Pelabuhan Bojonegara.
6. Perhubungan Udara
Bandara
Internasional Soekarno Hatta secara nasional merupakan bandar udara utama di
Indonesia sebagai pintu gerbang masuknya barang dan penumpang dari dalam maupun
luar negeri. Disamping itu terdepat juga bandara lainnya seperti bandar udara
Pondok Cabe dan Bandara Budiarto di Tangerang serta Bandara Gorda yang ada di kabupaten
Serang.
Bandara Pondok
cabe merupakan bandara untuk kegiatan ‘guneral aviation’, bandara Budiarto
merupakan bandara yang digunakan untuk training kegiatan penerbangan. Sementara
bandara Gorda digunakan sebagai bandara militer.
Sumber Web
: http://bantenprov.go.id/read/infrastruktur.html
Sumber :
Dokumen RPJMD Prov. Banten Tahun 2007 - 2012
Salam Sukses untuk Banten...
BalasHapus